8 Agustus 2020

Posisi Keilmuan Bimbingan dan Konseling

Judul Artikel di atas merupakan bagian dari isi buku " Menguak Tabir Bimbingan dan Konseling Sebagai Upaya Pedagogis" Kiat Mendidik Sebagai Landasan Profesional Tindakan Konselor. Karya Prof. Dr. Sunaryo Kartadinata, M.Pd. 
Judul di atas penting untuk diulas kembali karena ada sebagian guru BK/konselor, akademisi atau masyarakat umum yang kurang memahami tentang posisi bimbingan dan konseling. Pokok bahasan dari artikel di atas dapat di baca di selanjutnya.

Perlu ditegaskan bahwa keilmuan dan layanan ahli dari kependidikan di bidang ini adalah Bimbingan dan Konseling. Dua terminologi dirangkaikan sebagai satu keutuhan layanan ahli dalam hal mana konseling merupakan teknik bantuan yang secara langsung memfasilitasi konseli dalam mengatasi masalah dan mengambil keputusan secara konstruktif, sementara bimbingan mengandung ragam teknik yang lebih bersifat pedagogis untuk memfasilitasi perkembangan konseli dalam upaya mengembangkan perilaku-perilaku jangka panjang secara sehat dan mengembangkan lingkungan perkembangan yang membuka akses luas kepada konseli, jelasnya peserta didik, untuk memperoleh sukses di dalam belajar. 

Konseling bisa dilakukan sesudah maupun sebelum konseli memperoleh layanan bimbingan, sehingga upaya bimbingan tidak serta merta harus diikuti dengan layanan konseling. Konseling bukanlah teknik ekslusif karena istilah konseling tidak hanya digunakan di dalam pendidikan tetapi banyak digunakan juga di dalam bidang keilmuan dan profesi lain, seperti dalam bidang kesehatan, akuntansi, hukum, keagamaan, olah raga, dan bidang-bidang lainnya. Oleh karena itu penggunaan konseling dalam pendidikan tidak bisa dilepaskan dari layanan bimbingan sebagai bentuk upaya pedagogis. Pengunaan kata penghubung dan antara dua terminologi itu sesungguhnya dapat dimaknai bahwa upaya bimbingan tidak selamanya harus diikuti dengan konseling tetapi pada saat layanan konseling dilakukan harus didalam perspektif bimbingan sebagai upaya pedagogis. Dalam seting pendidikan pasca layanan konseling mesti berlanjut dengan layanan bimbingan karena konseli, jelasnya peserta didik, berada pada lingkungan belajar dan perkembangan dimana layanan bimbingan secara terus menerus dilaksanakan. Bimbingan dan konseling adalah upaya pedagogis untuk memfasilitasi perkembangan individu dari kondisi apa adanya kepada kondisi bagaimana seharusnya sesuai dengan potensi yang dimilikinya; bimbingan dan konseling adalah sebuah upaya normatif.

Myrick, Robert D (2003: 3) menegaskan bahwa: "The term "guidance" ... is a term in education that has been flip-flop with the word "counseling" for more than 50 years, dan pemutar balikan istilah bimbingan dengan konseling telah membuat kekacauan makna dan penggunaan bimbingan itu. (Auberry. 1977 dalam Myrick. 2003: 3). Perlu penegasan perbedaan dan hubungan antara bimbingan dengan konseling. Myrick (2003: 3) melihat bahwa bimbingan lebih bernuansa pedagogis. Dia menegaskan bahwa:

(1)          Bimbingan meresap ke dalam kurikulum sekolah atau proses pembelajaran yang bertujuan untuk memaksimumkan perkembangan potensi individu. Dalam konteks ini bimbingan merupakan filsafat pendidikan umum atau "state of mind" pendidik yang mengedepankan martabat dan keunikan individu di dalam upaya menciptakan lingkungan sekolah, sebagai lingkungan perkembangan, dan pembelajaran yang baik.

(2)          Bimbingan menembus konstelasi layanan yang terarah kepada pengembangan pribadi, karir, dan penyesuaian sekolah, yang secara umum dilaksanakan oleh pendidik profesional seperti konselor dan/atau dalam hal tertentu melibatkan guru dan personil lainnya.


Dapatlah ditegaskan bahwa bimbingan adalah proses membantu individu memahami diri dan dunianya, dan dalam konteks pendidikan bimbingan terfokus kepada pengembangan lingkungan belajar yang dapat memfasilitasi individu memperoleh kesuksesan belajar. Dengan penggunaan istilah bimbingan akan dikenal program bimbingan, layanan bimbingan, personil bimbingan, konselor bimbingan, kurikulum bimbingan, dan bahan bimbingan. Betapa akan menimbulkan kekacauan apabila istilah bimbingan dan konseling dipertukarkan, Myrick (2003:2) menegaskan bahwa "The matters become more confusing when people interchange the terms "guidance" and "counseling".


Penggunaan istilah bimbingan tetap dipertahankan sebagai kekuatan jati diri layanan ahli bimbingan dan konseling sebagai upaya pedagogis yang diampu oleh pendidik profesional yang disebut konselor. Upaya pendidikan (pedagogis) berdasar kepada pandangan tentang hakikat manusia; pandangan tentang bimbingan dan konseling harus dilihat dari konteks dan berdasar kepada hakikat manusia dan hakikat pendidikan, dan keberadaan bimbingan di dalam pendidikan merupakan konsekuensi logis dari pendidikan pendidikan itu sendiri.


Bimbingan turut bertanggung jawab dalam merealisasikan ketiga fungsi pendidikan (pengembangan, diferensiasi, dan integrasi) sebagaimana digambarkan. Bimbingan dan konseling ada di dalam pendidikan walaupun tidak semua permasalahan pendidikan dibicarakan di dalam bimbingan dan konseling. Di dalam upaya membantu manusia mencapai pribadi yang utuh, bimbingan dan konseling peduli terhadap upaya pengembangan kemampuan nalar yang motekar (kreatif) untuk bisa hidup baik dan benar. Upaya bimbingan dan konseling dalam meralisasikan fungsi pendidikan akan terarah kepada upaya membantu individu, dengan kemotekaran nalarnya, untuk memperhalus (refine), menginternalisasi, memperbaharui, mengintegrasikan sistem nilai yang diwujudkan secara kongruen ke dalam pola perilaku yang mandiri. Tampak di sini bahwa upaya membantu individu melalui bimbingan dan konseling amat mungkin diperlukan dan digunakan berbagai metode dan teknik psikologis untuk memahami dan memfasilitasi perkembangan perilaku individu. Akan tetapi tidak berarti bahwa bimbingan dan konseling adalah sebuah psikologi terapan belaka, karena bimbingan dan konseling adalah upaya normatif yang bersandar dan terarah kepada pengembangan manusia sesuai dengan hakikat eksistensialnya.


Apabila pendidikan bertujuan meningkatkan kualitas manusia yang bercirikan taqwa maka bimbingan dan konseling tidak cukup hanya bertopang kepada kaidah-kaidah psikologis dan sosio-kultural belaka melainkan harus mampu menangkap eksistensi manusia sebagai mahluk Allah s.w.t. ( M.D. Dahlan, 1988: 23). Betapa bimbingan dan konseling tidak cukup menggunakan teknik-teknik psikolgis semata, sebuah inferensi dan generalisasi logis dapat ditarik dari hasil studi Sunaryo Kartadinata (1988). Hasil studi dimaksud menunjukkan bahwa tidak ada kongruensi antara timbangan keputusan (judgmen kognitif) dengan kemandirian dalam mengambil dan menerima konseksuensi keputusan.


Fenomena temuan studi ini dapat dijelaskan dari kerangka pikir proses menimbang yang bisa terarah kepada timbangan deontik dan timbangan tanggung jawab. (Kohlberg dan Candee, 1984). Timbangan deontik (Frankena,1982) adalah timbangan yang memutuskan bahwa suatu tindakan itu benar. Dasar timbangan ini ialah aturan atau prinsip. Persoalan pokok timbangan deontik ialah "Apakah tindakan itu benar untuk dilakukan?" Timbangan deontik lebih berfungsi "pengambilan keputusan", sedangkan timbangan tanggung jawab ialah timbangan yang melibatkan unsur baik, buruk, atau tercela secara moral. Frankena (1982) menyebut unsur ini sebagai aretaic. Persoalan pokok timbangan tanggung jawab bukan hanya "Mengapa sesuatu itu benar?" tetapi juga "Mengapa saya harus melakukan itu?”. Timbangan tanggung jawab mempunyai fungsi "follow-through", sehingga terjadi konsistensi antara timbangan keputusan dengan tindakan nyata. Tampak bahwa (Sunaryo Kartadinata. 1988: 67 ) “... kemandirian merupakan variabel yang menjembatani timbangan keputusan dengan tindakan nyata, sebagai kekuatan motivasional bertindak, dan berkenaan dengan tanggung jawab.”


Dilihat dari sudut wilayah bimbingan dan konseling, kemandirian yang menjadi fokus telaahan studi yang disebutkan berada pada segi tujuan yang esensinya ialah tanggung jawab. Berbicara tentang tujuan bimbingan dan konseling berarti berbicara tentang segi-segi filosofis yang akan menjadi landasan bagi pengembangan teori, keilmuan, dan teknik bimbingan dan konseling. Tanggung jawab, sebagai esensi tujuan bimbingan dan konseling, bukan sesuatu yang dapat diajarkan sebagai pengetahuan melainkan sebagai sesuatu yang harus dialami dan diwujudkan dalam tindakan. Tanggung jawab adalah suatu konsep totalitas yang menyangkut keterkaitan manusia baik dengan dirinya sendiri, masyarakat, maupun Tuhan. Tanggung jawab adalah sesuatu yang inheren dalam diri manusia dan dapat dikembangkan sesuai dengan hakikat keberadaan manusia itu sendiri. Sebagai mahluk Tuhan manusia akan dimintai pertanggungjawaban atas perbuatannya sendiri (QS. 30:44; 34:25; 39:41). Kesadaran tanggung jawab dalam diri manusia tidak dapat dicapai hanya dengan mengembangkan segi kognitif, melainkan harus dilandasi oleh dan diintegrasikan dengan keimanan dan ketakwaaan terhadap Allah s.w.t.,Tuhan Yang Maha Kuasa.


Ketidak kongruenan timbangan keputusan secara kognitif dengan kemandirian untuk mengambil dan menerima konsekuensi keputusan mengandung implikasi bahwa manusia sebagai mahluk Tuhan, yang harus bertanggung jawab atas perbuatannya sendiri, tidak hanya memiliki kemampuan berpikir tapi juga memiliki kehendak. Tanggung jawab me- nyangkut keterpaduan dan keselarasan kedua komponen yang disebutkan. Menghampiri esensi tujuan bimbingan dan konseling tidak bisa bertolak dari pandangan tentang manusia secara parsial tapi harus bertolak dari pandangan yang utuh dengan berdasar kepada sumber dan bermuara kepada tujuan hidup manusia itu, ialah mencapai keridoan Allah s.w.t. Tuhan Yang Maha Kuasa.


Sebagaimana ditegaskan bahwa pendidikan menggunakan psikologi sebagai ilmu bantu. Hal yang sama terjadi pula dalam bimbingan dan konseling. Teknik atau pendekatan psikologis dalam bimbingan dan konseling yang lazim digunakan antara lain dapat digolongkan ke dalam pendekatan berikut ini.4

(1)                    Pendekatan Rasional. Pendekatan ini bertolak dari pandangan bahwa manusia adalah mahluk rasional. Kehidupan emosional dapat dikendalikan dengan menggunakan kemampuan rasional. Pendekatan intelektual dan logis merupakan cara paling utama yang digunakan dalam proses pemecahan masalah konseli. Tujuan konseling menurut pendekatan rasional ialah pemecahan perilaku bermasalah.

(2)                    Pendekatan Keperilakuan. Pendekatan ini bertolak dari pandangan bahwa perilaku manusia dibentuk dan dikondisikan oleh lingkungan. Kehidupan manusia berada di dalam dunia deterministik dan mekanistik. Kebebasan memilih pada manusia amat terbatas. Tujuan konseling ialah pemecahan perilaku bermasalah yang terarah kepada penghapusan penderitaan dan pemindahan faktor penyebab kelainan perilaku.

(3)                    Pendekatan Psikoanalisis (Freudian). Pendekatan ini bertolak dari pandangan bahwa manusia adalah mahluk pesimistik, deterministik, mekanistik, dan reduksionistik. Perilaku manusia ditentukan oleh kekuatan takrasional, ketaksadaran, kebutuhan biologis dan instinktif, dan perkembangan psikoseksual terutama pada masa kanak-kanak. Tujuan konseling ialah memperbaiki gangguan struktur dan orientasi kepribadian. Fokus telahan pendekatan ini adalah alam ketaksadaran.

(4)                      Pendekatan Fenomenologis (Rogerian). Pendekatan ini bertolak dari pandangan manusia sebagai mahluk rasional, dapat dipercaya dan mampu berbuat sesuatu yang lebih baik, memiliki keinginan untuk menjadi lebih bermakna. Pada dasarnya manusia adalah mahluk kooperatif dan konstruktif yang dapat mengembangkan dan mengarahkan diri sendiri atas keputusan sendiri. Tujuan konseling ialah pengarahan dan keberfungsian diri yang berorientasi ke-kini-an.

(5)                    Pendekatan Gestalt. Pendekatan Gestalt bertolak dari pandangan bahwa manusia adalah mahluk yang memiliki kemampuan untuk menerima tanggung jawab pribadi dan hidup sebagai pribadi yang utuh. Manusia bukanlah mahluk yang menyendiri dan terpisah dari lingkungan melainkan bersatu dan berbuat sebagai keseluruhan. Tujuan konseling adalah membantu konseli lebih matang, bertanggungjawab atas kehidupan sendiri, dan berin- tegrasi dengan dunianya. Fokus tekanan pendekatan Gestalt terletak pada kekinian dan kedisinian.


        Apabila ditelaah secara cermat, tampak bahwa tidak ada satu pandangan psikologispun yang mampu mengakomodasi pandangan filosofis tentang bimbingan dan konseling secara utuh. Ini mengandung arti bahwa pengembangan teori dan keilmuan bimbingan dan konseling, khususnya yang bersumber dari filsafat dan budaya Indonesia, perlu dipikirkan secara sungguh-sungguh dan tidak cukup bertopang pada teknik-teknik psikologis belaka.


           Bertolak dari pandangan filosofis yang diungkapkan, maka proses bimbingan dan konseling yang bertujuan untuk membantu konseli mencapai kemandirian dan menerima tanggung jawab bukan semata-mata proses pemecahan masalah, pembongkaran alam tak sadar, maupun penyelesaian masalah kekinian, walaupun semua segi itu cukup berarti bagi perkembangan konseli, melainkan terkait dengan persoalan nilai baik dan benar dan esensi tujuan hidup manusia. "Bimbingan dan konseling harus merupakan  proses penyiapan  konseli untuk dapat melaksanakan tugas hidupnya sebagai mahluk Allah s.w.t di muka bumi ini."( M.D. Dahlan, (1988). Dengan demikian proses bimbingan dan konseling tidak dapat dipandang sebagai serpihan yang terpisah dari tugas hidup manusia di dunia ini. Terkandung implikasi lebih jauh bahwa fungsi utama bimbingan dan konseling adalah pengembangan dan peningkatan (developmental and promotive) dan bukan fungsi terapeutik, walaupun fungsi yang terakhir itu tetap harus dipenuhi. Fungsi lain yang juga harus diperhatikan ialah fungsi memelihara (preservative), dalam arti membantu konseli untuk tetap berpegang pada kaidah hidup benar, ikhlas, dan tawakal.


           Apa yang disebutkan sebagai makna dan fungsi bimbingan dan konseling menunjukkan bahwa proses bimbingan dan konseling harus membawa konseli ke arah berpikir internal. (Dyer dan Vriend, 1977). Terkandung arti di sini bahwa konseli bertanggung jawab penuh atas semua masalah yang di bawanya ke dalam proses bimbingan dan konseling. Dari uraian tentang fungsi dan proses bimbingan dan konseling sebagaimana disebutkan, tampak bahwa pendekatan bimbingan dan konseling tidak berpegang pada salah satu pendekatan psikologis yang digambarkan. Pendekatan eklektik atau pendekatan sistem terbuka (Smith dalam Highlen dan Hill, 1984) dimungkinkan sepanjang menyangkut teknik yang tidak bertentangan dengan filsafat pendekatan konseling yang digunakan, akan tetapi tidak serta merta menyangkut segi-segi preskriptif filosofis yang terkandung di dalam filsafat pendidikan.


           Bertolak dari pandangan filosofis tentang manusia dan pandangan teoretik tentang pendekatan yang disebutkan (yang menyangkut makna, fungsi, proses, dan teknik bimbingan dan konseling), maka pendekatan bimbingan dan konseling dimaksud hendaknya berorientasi pada pendekatan kekhalifahan atau kemahlukan manusia, sesuai dengan esensi tugas manusia hidup di dunia ini sebagai khalifah dan berdasar kepada sifat-sifat kemanusiawian di dalam implementasinya. (Sunaryo Kartadinata, 1988).


           Pandangan filosofis dan teoretis sebagaimana dikemukakan, secara imperatif mengandung implikasi metodologis yang berkenaan dengan bagaimana bimbingan dan konseling mempelajari secara utuh dan akurat tentang masalah kehidupan dan perkembangan manusia serta srtategi intervensi di dalam memfasilitasi perkembangan manusia/konseli. Bukti empirik statistik yang banyak ditunjukkan di dalam studi-studi psikologi belum mampu menjadi bukti konklusif untuk menjelaskan esensi tanggung jawab dan kemandirian sebagai tujuan bimbingan dan konseling. Oleh karena itu pendekatan tak (non) statistik, perenungan, pemahaman, dan penafsiran merupakan salah satu pendekatan yang dapat digunakan untuk memahami hakikat dan upaya pengembangan kemandirian. Di dalam dunia filsafat, pendekatan yang bersifat perenungan, pemahaman, dan penafsiran itu tergolong ke dalam paska (post) positivisme atau hermeneutic (Brenneman, Jr.1982).


           Bimbingan dan konseling menyangkut proses perkembangan manusia yang berlandaskan kepada hakikat manusia itu sendiri. Bimbingan dan konseling banyak mengandung isu filosofis; isu itu sendiri tak pernah berubah namun titik pandang atau cara pandang terhadap isu itu yang mungkin berubah. Proses bimbingan dan konseling adalah proses yang berpijak dan bergerak ke arah yang selalu mengandung persoalan filosofis. "'Philosophical counseling' refers to a process in which a counselor (note: apparently not necessarily a philosopher) works with a client to critically reflect on the ideas and world-views associated with the specific life-problems ... preliminarily defined by the client These life problems must arise from philosophical problems in the implicit world-view of the client." (Shlomit C. Schuster,1999).


         Seorang konselor harus berpegang pada filosofi yang jelas, namun dia tetap harus menghindarkan diri dari faham “completism” (suatu perasaan yang memandang diri “Saya adalah seorang konselor, bersertifikat dan terdidik, sekali jadi, untuk segalanya”. Isu filosofis dalam bimbingan dan konseling perlu didiskusikan sebagai sebuah kenyataan karena pemahaman atau cara pandang terhdap isu ini akan menentukan bagaimana sosok konselor dikembangkan dan bagaimana konselor membantu konseli. Pikiran lama namun masih tetap relevan dan menarik untuk dikaji adalah isu- isu filosofis yang menyangkut aspek: pribadi konselor, religius, hakikat manusia, tanggungjawab konselor, dan pendidikan konselor. (Dugald S. Arbuckle, 1958). Isu pribadi konselor menyangkut hingga mana hubungan antara konsep diri dan tujuan konselor, dan teknik yang digunakan untuk mencapai tujuan tersebut. Tujuan adalah sesuatu yang berorientasi filosofis, dan metode dan teknik yang digunakan untuk mencapai tujuan tersebut akan diwarnai oleh filosofi konselor. Metode dan teknik bimbingan dan konseling merupakan refleksi dari filosofi konselor. Isu religius, hingga mana keyakinan (agama) yang dianut konselor mempengaruhi hubungan konselor dengan konseli. Apakah harus ada kesamaan agama antara konselor dengan konseli. Dapatkah konselor bertindak sama terhadap konseli walaupun berbeda keyakinan? Isu hakikat manusia, terkait dengan bagimana konselor memandang manusia. Pandangan ini akan terefleksikan dalam bagaimana konselor memperlakukan klien dalam proses bimbingan dan konseling. Isu tanggung jawab, terkait dengan konsep peran konselor di dalam masyrakat dan persoalan konfidensialitas. Haruskah konselor berpikir sebagai “menjadi konseli” dan oleh karena itu dia tidak akan pernah membuka informasi yang konfidensial? Jika kepribadian konselor terefleksikan di dalam metode dan teknik, jika orientasi religius dan pandangan konselor tentang hakikat manusia mempengaruhi pendekatan yang digunakan, bagaimana bimbingan dan konseling bisa menjadi pekerjaan atau tugas- tugas profesional?


      Karena interaksi konselor dengan konseli merupakan wujud komitmen filosofis, konselor harus bergelut dengan pertanyaan-pertanyaan epistemologis, yaitu(1) Apakah manusia mengetahui dunia ekstramental atau hanya mengetahui duniannya sendiri? (2) Apakah pengetahuan tentang manusia merepresentasikan secara valid tentang dunia ekstramental?, (3) Dapatkah manusia mencapai kesepakatan tentang hakikat kenyataan ekstramental?. (Daubner & Daubner, 1969). Ada tiga posisi konselor atas pertanyaan epistemologis ini, yaitu (Daubner & Daubner, 1969): (a) posisi realis, yang meyakini bahwa ekstramental itu ada dan manusia dapat mencapai pengetahuan yang valid tentang dunia ekstramental, berbagai observasi bisa mencapai kesepakatan, (b) posisi fenomenalis, yang meyakini bahwa dunia ekstramental itu ada tapi tak seorangpun bisa memperoleh pengetahuan valid, dan tidak bisa juga dicapai kesepakatan. 

 

        Dalam konteks keilmuan, bimbingan dan konseling ada dalam wilayah ilmu normatif dengan fokus kajian materialnya adalah proses bagaimana memfasilitasi dan membawa manusia berkembang dari kondisi apa adanya (what it is) kepada bagaimana seharusnya (what should be). Layanan bimbingan dan konseling adalah upaya pedagogis, yang memanfaatkan pengetahuan dan teknik-teknik psikologis dalam memfasilitasi perkembangan individu. Konteks tugas Bimbingan dan Konseling adalah kawasan layanan bantuan yang bertujuan memandirikan individu normal dan sehat dalam menavigasi perjalanan hidupnya melalui pengambilan keputusan tentang pendidikan termasuk yang terkait dengan keperluan untuk memilih, meraih serta mempertahankan karir untuk mewujudkan kehidupan yang produktif dan sejahtera, serta untuk menjadi warga masyarakat yang peduli kemaslahatan umum (the common good) melalui pendidikan. (Ditjen Dikti: 2007). Karena sifat normatif pedagogis ini maka fokus orientasi bimbingan dan konseling adalah pengembangan perilaku yang harus dikuasai oleh individu untuk jangka panjang; menyangkut ragam proses perilaku yang mencakup pendidikan, karir, pribadi, keluarga, dan proses pengambilan keputusan. Dalam upaya memfasilitasi perkembangan individu itu seorang konselor hendaknya memiliki kemampuan untuk memahami gambaran perilaku individu masa depan dan konselor harus mampu "datang lebih awal" memasuki dunia individu masa depan dimaksud. Ini menyiratkan seorang konselor perlu memiliki falsafah hidup dan kepribadian yang matang, memahami tujuan universal bimbingan dan konseling, sebagai landasan di dalam upaya memfasilitasi perkembangan konseli.


       Buku Menguak Tabir Bimbingan dan Konseling Sebagai Upaya Pedagogis dapat DIUNDUH DI SINI

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan Tulis Komentar Anda

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel